Sarmin

WAKAF TUNAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Ditulis oleh Drs. H. Sarmin, M.H. (Hakim)

Sumber: http://pabangil.pta-surabaya.go.id/

PENDAHULUAN

Wakaf bukanlah sesuatu yang asing bagi umat Islam karena eksistensinya bisa dikatakan hampir bersamaan dengan eksistensi Islam dan umat Islam itu sendiri. Masih segar dalam ingatan umat Islam, bahwa ketika Rasulullah, pembawa risalah Islam, berhijrah dari Makkah menuju Madinah dan sesampainya di Madinah beliau memperkenalkan wakaf kepada kaum Muslimin, di mana pada masa itu kaum asli Madinah yang bernama kaum Najja mendapatkan tawaran dari Rasulullah, untuk mewakafkan tanahnya karena ketika itu beliau memerlukan tanah untuk pembangunan masjid. Baliau mengatakan:”Wahai Bani Najja, maukah kalian menjual kebun kalian ini?” Mereka menjawab:”(Ya!, tapi), demi Allah, kami tidak akan meminta harganya, kecuali mengharapkan pahala dari Allah.” Kemudian beliau mengambilnya, lalu membangun masjid di atasnya.” Dari sinilah, lalu menjadi tradisi umat Islam mewakafkan tanah-tanah miliknya untuk keperluan pembangunan masjid dan kepentingan umum lainnya.

Selama ini sebagian umat Islam telah terbiasa mewakafkan harta bendanya yang tetap (tidak bergerak) seperti tanah, namun untuk mewakafkan harta bendanya yang tidak tetap (bergerak) tidak begitu terbiasa. Hal tersebut tidak terlepas dari pemahaman tentang lebih afdholnya mewakafkan harta benda berupa benda tetap seperti tanah dari pada benda lainnya yang bergerak. Keafdholan tersebut ditopang atas alasan antara lain, karena yang dicontohkan Rasulullah adalah wakaf tanah dan karena tanah merupakan harta benda yang bisa dibilang kekal sifatnya atau tidak gampang musnah, meskipun bisa musnah. Sedang untuk wakaf berupa benda lainnya tidaklah seperti demikian keadannya. Namun pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, yang di dalamnya menentukan bahwa benda yang dapat diwakafkan tidak saja benda tetap (tidak bergerak) tetapi terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak. Di antara benda yang bergerak yang dapat diwakafkan adalah wakaf tunai (wakaf uang). Wakaf jenis ini telah diintroduser oleh Prof. Dr. A. Mannan, Ketua Social Invesment Bank Ltd. Dhaka, Bangladeh, seorang ekonom yang terkemuka dan cendekiawan Muslim yang sejak lama dikenal memiliki komitmen yang jelas terhadap sistem ekonomi Islam.

Apakah sebenarnya wakaf tunai itu? bagaimanakah tata cara mewakafkannya? Bolehkah wakaf tunai itu menurut pandangan hukum Islam? Melalui makalah ini penulis mencoba untuk menelusurinya melalui sumber bacaan yang ada.

PEMBAHASAN

Pengertian Wakaf Tunai

Secara bahasa, kata wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa” (berhenti) atau “waqfun” (terhenti). Kata ini terkandung maksud, bahwa harta benda yang telah diwakafkan adalah berhenti, tidak boleh dipindahkan. Baik dipindahkan dengan cara memberikan kepada orang lain (hibah), dengan cara menjual, dengan cara mewariskan, atau dengan bentuk-bentuk perpindahan lainnya. Atau, berarti “Habasa” (menahan) atau “habsun” (tertahan). Dari kata ini terkandung maksud sama seperti yang terkandung dalam kata wakaf, bahwa harta benda yang telah diwakafkan itu keadaannya tertahan atau ditahan. Maksudnya, tidak boleh dipindahtangankan, baik dengan cara menjual, menghibahkan, mewariskan atau lainnya.

Menurut istilah, wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. Demikian Sayid Sabiq mendefinisikannya dalam kitabnya Fiqhussunnah: 14 : 148. Para ahli hukum Islam lainnya, hampir sama dengan Sayid Sabiq dalam medefinisikan wakaf tersebut. Imam Abu Hanifah, misalnya, yang menyatakan wakaf adalah menahan benda dan memberikan hasilnya. Golongan Malikiyah menyatakan, wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik manfaat tersebut berupa sewa atau hasilnya, untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang mewakafkan (wakif). Sementara jumhur ulama mendefinisikan wakaf, dengan menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang.

Dari beberapa definisi tersebut dapat difahami bahwa wakaf adalah memberikan manfaat benda kepada pihak lain, baik perorangan atau umum, di mana bendanya tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain.

Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah milik, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Definisi hampir sama diberikan oleh Kompilasi Hukum Islam, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

Sementara pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, mendefinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat.

Demikian pengertian wakaf secara umum. Sedang pengertian Wakaf Tunai dapat diuarikan berikut ini.
Wakaf tunai merupakan produk hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tantang Wakaf. Pasal 16 Undang-Unang tersebut, menyatakan bahwa:

  • Harta benda wakaf terdiri dari:
    • Benda tidak bergerak; dan
    • Benda bergerak
  • Benda tidak bergerak meliputi:
    • Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
    • Bangunan atau bagian yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
    • Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
    • Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    • Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan.
  • Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikosumsi, meliputi:
    • uang;
    • logam mulia.
    • Surat berharga.
    • kendaraan.
    • Hak atas kekayaan intelektual.
    • Hak sewa; dan.
    • Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari bunyi pasal di atas, diperoleh kesimpulan tentang wakaf tunai, adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

Wakaf secara umum telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan masyarakat sebelum Islam telah mempraktekkan perbuatan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktek sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktek masyarakat sebelumnya. Sedang wakaf tunai mulai dikenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Pada masa ini, wakaf tidak hanya terbatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/572 H, dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi madhab Sunni, Salahuddin Al-Ayyubi menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu membayar bea cukai dalam bentuk barang atau uang? Namun lazimnya bea cukai dibayar dengan menggunakan uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha’ (juris Islam) dan para keturunannya.

Syarat dan Rukun Wakaf

Wakaf, sebagaimana diuraikan di atas, adalah merupakan perbuatan hukum, yang untuk sahnya pelaksanaannya harus memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan, baik oleh hukum Islam maupun oleh peraturan perundangan-undangan.

Sebagai perbuatan hukum, wakaf mempunyai rukun-rukun yang harus dipenuhi. Sebagaimana perbuatan hukum lainnya, wakaf yang tidak memenuhi rukunnya, seluruh atau sebagiannya, membuat perbuatan hukum tersebut menjadi batal demi hukum. Ulama Hanafiyah mendefinisikan rukun sebagai sesuatu, di mana sesuatu yang lain tidak sempurna kecuali dengannya.

Selain golongan Hanafiyah, menetapkan bahwa rukun wakaf yang harus dipenuhi dalam melakukan perbuatan hukum wakaf ada 4 (empat), yaitu :

  • Wakif (orang yang mewakafkan harta);
  • Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan);
  • Mauquf alaihi (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf);
  • Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya).

Masing-masing rukun ini mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi. Seperti syarat rukun pertama, yaitu waqif, harus merdeka, berakal sehat, dewasa, tidak dilarang melakukan tindakan hukum seperti tidak berada di bawah pengampuan karena boros atau lalai. Rukun kedua, yaitu harta yang diwakafkan, syaratnya antara lain: harta yang diwakafkan harus berupa benda tetap karena wakaf itu untuk selamanya. Namun menurut golongan Malikiyah dan Syiah Imamiyah, boleh wakaf benda yang tidak tetap karena menurut mereka boleh wakaf dalam jangka waktu tertentu. Syarat benda yang diwakafkanlainnya seperti: telah ditentukan bendanya, baik ukurannya maupun sifatnya; benda yang diwakafkan milik wakif. Sedang untuk rukun ketiga: pihak yang menerima wakaf syaratnya: harus menggunakan barang wakaf tersebut untuk kebaikan karena wakaf adalah amal perbuatan untuk mendekatkan kepada Allah; penerima perorangan/umum harus dapat memiliki harta yang diwakafkan kepadanya. Maka tidak sah wakaf kepada janin, mayat, hewan dan sebagainya; penerima harus orang Islam, maka tidak sah wakaf kepada orang kafir, kafir harbi dan murtad. Tapi Imam Nawawi berpendapat, sah wakaf kepada kafir dzimmi karena kafir dzimmi dapat memiliki harta wakaf. Tapi ulama yang lain memberikan syarat, benda yang diwakafkan harus dapat dimiliki non muslim dan tidak mengandung unsur maksiat. Syarat berikutnya adalah bahwa penerima wakaf harus untuk kepentingan umum yang tidak ada unsur maksiat. Sementara rukun syarat shighat (ikrar wakaf) adalah: harus munjazah (terjadi seketika/selesai). Maksudnya, shighat itu menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah ijab diucapkan atau ditulis. Tidak diikuti syarat batil yang dapat merusak hakekat wakaf. Tidak diikuti batas waktu tertentu, kecuali menurut salah satu pendapat ahli hukum Islam. Tidak mengandung pengertian mencabut atau membatalkan wakafyang telah dilakukan.

Tata cara Wakaf Tunai

Sebagaimana diuraikan di muka, bahwa wakaf tunai merupakan terobosan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu pasal 28 sampai pasal 31, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
  • Wakaf benda bergerak berupa uang dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara tertulis.
  • Wakaf benda bergerak berupa uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
  • Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
  • Lembaga keuangan syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkan sertifikat wakaf uang.

Dari berbagai ketentuan di atas, tata cara perwakafan tunai kiranya dapat dikonstruksi sebagai berikut:

  • Wakaf uang (tunai) yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.
  • Karenanya wakaf uang yang berupa mata uang asing, harus dikonversi lebih dulu ke dalam rupiah.
  • Wakif yang akan mewakafkan uangnya wajib hadir di Lembaga Keuangan Syariah Wakaf Uang (sebagai nazhir) yang telah ditunjuk oleh Menteri Agama berdasarkan saran dan pertimbangan dari Badan Wakaf Indonesia, untuk:
    • Menyatakan kehendaknya, yaitu mewakafkan uangnya;
    • Menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang akan diwakafkan;
    • Menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke lembaga keuangan syariah tersebut;
    • Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf.
  • Dalam hal wakif tidak dapat hadir, maka wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
  • Wakif juga dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan), yang selanjutnya nazhir menyerhakan akta ikrar wakaf tersebut kepada Lembaga Keuangan Syariah.

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh suatu Lembaga Keuangan Syariah untuk menjadi Penerima Wakaf Uang adalah sebagai berikut:

  • Memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia
  • Bergerak di bidang keuangan syariah;
  • Memiliki fungsi menerima titipan (wadi’ah).
  • Lembaga Keuangan Syariah mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Agama dengan melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum.
  • Mengajukan permohonan menjadi Lembaga Keuangan Syariah
  • Penerima Wakaf Uang secara tertulis kepada Menteri Agama dengan melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum.

Kemudian Menteri paling lambat dalam waktu tujuh hari menunjuk Lembaga Keuangan Syariah atau menolak permohonan tersebut sebagai Penerima Wakaf Uang.

Lalu Lembaga Keuangan Syariah yang ditunjuk: (1) mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (2) menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang (3) menerima secara tunai wakaf uang dari wakif atas nama nazhir (4) menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama nazhir yanmg ditunjuk wakif (5) menerima pernyataan kehendak wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak wakif (6) menerbitkan sertifikat wakaf uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada nazhir yang ditunjuk oleh wakif (7) mendaftarkan wakaf uang tersebut kepada Menteri Agama atas nama nazhir.

Sedang isi sertifikat wakaf uang sekurang-kurangnya harus memuat keterangan mengenai: (a) nama Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf (b) nama wakif (c) alamat wakif (d) jumlah wakaf uang (e) peruntukan wakaf (f) jangka waktu wakaf (g) nama nadzir yang ditunjuk (h) tempat dan tanggal penerbitan sertifikat wakaf uang.

Bagi wakif yang berkehendak melakukan wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, nazhir wajib mengembalikan jumlah pokok wakaf uang tersebut kepada wakif atau ahli warisnya/penerus haknya melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Tunai.

Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam

Setelah membicarakan panjang lebar tentang pengertian wakaf dan rukun serta syarat-syaratnya, maka tibalah saatnya membicarakan tentang wakaf tunai dalam perspektif hukum Islam.

Mengenai hukum wakaf uang (wakaf tunai) ini, para ulama hukum Islam berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Adapun alasan yang tidak membolehkan adalah sebagai berikut:

  • Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dengan membelanjakannya, sehingga bendanya lenyap. Sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai. Oleh karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai.
  • Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya.

Adapun alasan ulama yang membolehkan wakaf uang adalah seperti diuraikan dalam kutipan berikut ini.

Dalam kitab Al-Is’af fi Ahkamil Awqaf, Ath-Tharablis menyatakan:”Sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan, dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti makanan gandum. Yang membuat mereka merasa aneh adalah karena tidak mungkin mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan dana tunai dirham?” Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan :”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah, kemudian hasilnya disedekahkan.”

Di kalangan Malikiyah populer pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang kontan, seperti dilihat dalam kitab Al Majmu’ oleh Imam Nawawi (15/325) yang mengatakan: dan para sahabat kita berbeda pendapat tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar membolehkan berwakaf dengannya dan yang tidak membolehkan mempersewakannya tidak membolehkan mewakafkannya. “Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (31/234-235), meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Mughni (8/229-230).

Sebagian ulama dari kalangan Syafii membolehkan wakaf tunai. Dalam kitab Al-Hawil Kabir, Al-Mawardi menyatakan diriwayatkan dari Abu Tsaur dari Imam As-Syafi’i tentang bolehnya wakaf dinar dan dirham (uang).

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi didasarkan kepada hadits Ibnu Umar. Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi (baru) tentang wakaf,yaitu:

“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”

Apabila memperhatikan definisi wakaf, yang diberikan oleh para ulama hukum Islam, di mana wakaf didefinisikan sebagai menahan bendanya dan memberikan manfaatnya ke arah kebaikan, baik perorangan atau kepentingan umum, dan memperhatikan tata cara mewakafkan dan pengelolaannya, maka ternyata dzat uang wakaf tetap tersimpan di dalam Bank Penerima Wakaf Uang sebagai nadzir. Uang wakaf tersebut dikelola oleh Bank tersebut dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Dari pengelolaan tersebut diperoleh keuntungan. Dan dari keuntungan itu dipergunakan pendanaan atau pembiyaan-pembiyaan berbagai keperluan umat Islam. Dari kenyataan tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa wakaf tunai telah memenuhi pengertian wakaf dan tujuan dari wakaf secara umum. Karenanya, pendapat-pendapat tentang kebolehan wakaf tunai sebagai diuraikan di atas dapat dipertahankan dan dapat dijadikan pijakan tentang bolehnya Wakaf Tunai.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Dari uaraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
  • Wakaf tunai dapat dilakukan di Lembaga Keuangan Syariah yang telah menerima penunjukan dari Menteri Agama sebagai Penerima Wakaf Uang (sebagai nazhir) dan dapat juga dilakukan di Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang untuk selenjutnya diserahkan kepada Lembaga Keuangan syariah Penerima Wakaf Tunai yang ditunjuk.
  • Menurut hukum Islam wakaf tunai diperbolehkan, sekalipun ada juga ahli hukum Islam lainnya yang menolak. Namun pendapat yang membolehkan lebih dapat diterima oleh perkembangan kepentingan umat Islam.

Saran

Memperhatikan betapa berperannya wakaf tunai bagi perkembangan perekonomian umat dan kemajuan duania Islam itu sendiri, maka direkomendasikan, agar wakaf tunai disosialisasikan, supaya masyarakat Islam memahami akan arti pentingnya wakaf tunai dan selanjutnya mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Bila perlu disinergikan dengan perda yang ada di setiap daerah.

BIBLIOGRAFI :

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, 2006

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, 2006

Mustafa Edwin Nasution, Wakaf Tunai, 2006

Keputusan Komisi Fatwa MUI yang dikeluarkan tanggal 11 Mei 2002, yang ditandatangani KH. Ma’ruf Amin (sebagai ketua) dan Drs. Hasanudin, M.Ag (sebagai sekretaris).

Sayyid Sabid, Fiqhussunnah, Jilid IVX, Al-Maarif, Bandung, 2002

Zuhaily, Al-Fiqhul Islam wa adillatuhu, Darul Fikr, Damaskus, tt.

Ketua Jurusan Al-Akhwalusy Syakhshiyyah (Syariah) STAI Pancawahana, Bangil

Prof. Dr. A. Manna, Sertifikat Wakaf Tunai Sebuah Inonvasi Instrumen Keuangan Islam, CIBER PKTTI-UI, Jakarta, 2001, h. 5

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai,

Departemen Agama RI, Fiqih Wkaf, hal. 21 Ibid, h. 46-54

Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, 2006, h.

Mustafa Edwin Nasution, dkk, h. 98

Lihat keputusan Komisi Fatwa MUI yang dikeluarkan tanggal 11 Mei 2002, yang ditandatangani KH. Ma’ruf Amin (sebagai ketua) dan Drs. Hasanudin, M.Ag (sebagai sekretaris).

Leave a comment